“Hei Levi,
bagaimana kalau kita jadian?”
Pria tanpa
ekspresi itu memandang gadis berkacamata itu dengan tajam. Diseruputnya kopi
hitam miliknya.
“Boleh.”
Do You Love Me?
Disclaimer: Isayama
Hajime-sensei
Genre: Romance, Drama
Rate: T
Warning: OOC, typo(s),
LevixHanji pairing
fanfic by: Pinkyukka (me)
-HANJI POV-
Hubungan
kami sudah memasuki tahun ketiga. Aku sangat menikmati hubunganku dengan Levi,
pria yang selama ini selalu mengisi hari-hariku. Yah, walau setiap hari ia
hanya sibuk dengan pekerjaannya mengingat sekarang ia merupakan manajer dari
sebuah perusahaan besar. Aku pun sama sibuknya. Riset yang sedang kulakukan
saat ini begitu menyenangkan dan seru, tapi aku selalu meluangkan waktu untuk
ke apartemen Levi. Yah, dia bisa-bisa tak makan dengan benar kalau aku tak memasakkan
sesuatu untuknya.
Tak ada
kata-kata mesra yang ia ucapkan. Yah aku sudah biasa dengan dia yang
sangat-sangat datar itu. Walau ia tak berekspresi, tapi aku cukup memahaminya.
Yah, itulah yang aku pikirkan.
.
.
.
“Halo Levi?
Hari ini aku ke apartemen ya. Aku akan siapkan makan malam istimewa!” kataku
ketika menelepon seusai kerja. Aku baru saja membeli bahan makanan kesukaan
Levi. Dia pasti senang, pikirku.
“Tak perlu.
Hari ini aku lembur,” jawabnya singkat.
“HEE?? Hari
ini pun lembur? Hei, sudah 3 hari kau lembur. Sudah saatnya kau istirahat,”
protesku.
Terdengar
helaan napas panjang. “Ya. Seharusnya begitu. Tapi pekerjaanku ini tak ada
habisnya. Deadline semakin dekat dan
aku harus segera menyelesaikan semuanya.”
Aku tak
habis pikir dengan pacarku yang gila kerja ini. Apa dia tak sadar kalau matanya
sudah semakin hitam karena dia kurang tidur?
“Pokoknya
aku akan menunggumu pulang!” ucapku lalu menutup telepon. Setidaknya dia akan
pulang cepat kalau dia tahu aku menunggunya.
Aku tahu
sikap keras kepalaku ini tidak bisa hilang. Tapi ini demi kebaikannya. Aku tak
mau orang yang sangat kusayangi itu sampai sakit. Yah… itu sangat menyakitiku.
Segera
kulangkahkan kakiku menuju apartemen Levi yang sebenarnya tak jauh dari
stasiun, namun salju yang turun mulai sore tadi cukup deras sampai menghambat
perjalanan kereta, sehingga kereta terlambat sampai tujuan.
Levi tinggal
di apartemen yang mewah. Keluarganya memang termasuk orang yang berkecupukan,
tetapi ia membeli apartemen ini dari hasil kerja kerasnya. Yah, aku tahu
bagaimana perjuangannya sampai bisa menjadi manajer sekaligus tangan kanan dari
sebuah perusahaan ternama. Tentu saja aku tahu, kami sudah saling mengenal
sejak bangku kuliah.
Sampai di
depan pintu apartemen Levi, segera kukeluarkan kunci cadangan kamarnya yang
kuberi gantungan kunci sebuah lambang yang disebut sebagai “sayap kebebasan”.
Levi memberikanku kunci cadangan ini ketika perayaan hari jadi kami yang
pertama. Ketika itu kami…
BLUSH!!
Seketika
pipiku terasa panas ketika mengingat hal itu. Hari itu merupakan ciuman pertama
kami setelah sekian lama.
CKLEK!
Kubuka pintu
apartemen secara perlahan. “Gelap sekali. Dia benar-benar belum pulang.”
Kunyalakan
lampu kamar yang mewah itu. Sangat bersih. Sebenarnya aku sangat berharap
sesekali menemukan kamar ini berantakan. Tapi kalau mengingat si freak-clean itu, rasanya tak mungkin.
“Baiklah,
aku akan mulai memasak. YOSH!!”
.
.
.
Tik tik tik.
Suara jam berdetik begitu terdengar jelas ditelingaku. Perlahan kubuka mataku.
Aku.. tertidur?
Kulihat jam
dinding berada di sudut ruangan. Jam 8? Eh.. bukankah semalam aku datang kemari
jam 8? Ja-jangan-jangan…
Bluk!
Kutolehkan
kepalaku menuju sumber suara. “Selimut?” kuambil selimut yang jatuh itu sambil
mengernyitkan dahiku. “AH!!” segera kusambar handphone-ku yang berada di meja.
“Levi? Apa
kau semalam pulang?” Tanyaku sambil berjalan menuju dapur.
“Baka! Sudah kubilang kau tak perlu
menungguku kan? Lihat akibatnya, kau tertidur tanpa selimut dan pakaianmu
sangat tipis,” bentak Levi. Aku tersenyum. Sepertinya ini kali pertama pria
pendek yang sangat kucintai berbicara lebih panjang dari biasanya. Walau ini
lebih terdengar bentakan, tapi bagiku ini terdengar seperti nada khawatir khas
pria berwajah datar itu. Aku terus mendengar bentakannya sambil berjalan menuju
dapur. Langkahku terhenti ketika mendapati meja makan yang bersih. Bersih dari
makanan dan peralatan makan. Dia sudah menghabiskan makan malam yang sengaja
kubuatkan untuknya. Aku tersenyum.
“Ihihi kau
mengkhawatirkanku Levi? Terima kasih selimutnya. Aku mencintaimu,” ucapku
dengan nada menggoda. Tak ada balasan dari seberang sana. Aku yakin dia pasti
sedang memerah. Membayangkan wajah malu-malunya membuatku gemas sekali.
“Ehem.
Hentikan Hanji. Sekarang pulanglah. Bukankah kau harus segera ke laboratorium?”
“AHA!! Kau
benar Levi-pyon. Aku ada pertemuan
dengan professor hari ini.” Masih bertelepon dengan Levi, segera kubereskan
barang-barangku.
“Hentikan
panggilan bodohmu itu. Aku ada meeting
sebentar lagi. Sampai nanti.”
Pip.
Seperti
biasa. Telepon dimatikan secara sepihak. Aku mengangkat bahu lalu segera keluar
dari apartemen dan pergi menuju stasiun.
.
.
.
“Hanji-san.
Proposal penelitian tentang genetik tanaman misterius sudah siap.” Pria kecil
berambut pirang menghampiriku sambil membawa beberapa dokumen.
“Terima
kasih bantuanmu Armin. Tak kusangka proposalnya secepat ini. Aaahh aku ingin
segera melakukan riset ini!” pekikku kegirangan.
“Ah tapi
Hanji-san harus ingat dengan
pertemuan penting hari ini.”
“Kau benar
Armin. Hari ini aku akan presentasi sebaik mungkin dan kita akan melakukan
riset tentang genetik-manusia-agar-menjadi-raksasa ufufufu.”
“A-ahahaha…”
tampak Armin sweatdrop mendengar
pernyataanku. “A-ano Hanji-san…”
“Hm? Ada
apa?”
“Ngg.. itu…
apa.. apa Hanji-san masih berpacaran dengan
manajer perusahaan Smith?”
“Oh Levi!
Tentu saja! Ada apa?”
Armin tampak
terkejut. “Ti-tidak ada apa-apa. Ah aku masih harus membuat laporan penelitian
kemarin! A-aku permisi.” Armin segera berlari meninggalkanku sendiri. Aku hanya
menatap kepergiannya dengan terheran-heran.
-end Hanji’s POV-
Hanji
melanjutkan pekerjaannya. Mempersiapkan presentasi untuk pertemuannya dengan
para profesor. Sebenarnya gadis bersurai coklat itu kehilangan sedikit konsentrasinya
sejak Armin yang terkejut mendengar jawabannya. Entah apa yang dipikirkan Armin
saat itu.
Ia
mengangkat bahunya lalu melanjutkan pekerjaannya.
.
.
.
“Iya, aku
melihatnya sendiri lho. “
“Hee? Masa??
Bukankah Levi-san sudah punya pacar?”
“Entahlah.
Tapi aku beberap kali melihat mereka bersama.”
“HEEE??”
Suara para
karyawati penggosip itu terdengar begitu keras. Hanji yang saat itu sengaja
berkunjung ke kantor Levi untuk mengantarkan bekal buatannya segera menuju para
karyawati itu.
“Hei hei,
apa? Apa? Kalian sedang membicarakan apa?”
Para
karyawati itu terkejut dan segera menyadari bahwa gadis yang muncul tiba-tiba
itu adalah pacar dari Levi, manajer perusahaan Smith yang terkenal sadis itu.
“E-eh..
ti-tidak ada apa-apa. Permisi..” segera para karyawati itu meninggalkan Hanji
sendiri.
“Apa yang
terjadi? Kenapa reaksi mereka sama seperti Armin kemarin?” gerutu Hanji sambil
mengerucutkan bibirnya.
“Hei,
Hanji!” sapa seseorang. Segera Hanji menolehkan kepalanya menuju sumber suara.
“Ah Irvin!!
Apa yang kau lakukan di sini?”
Irvin
tertawa kecil. “Ini perusahaanku. Kau ingat?”
“Ah iya… apa
kau lihat Levi? Aku bawa bekalnya,” kulambai-lambaikan bekal buatanku. Aku
cukup jago memasak. Oleh karena itu sangat bangga dengan masakanku ini.
Irvin tampak
berpikir. “Aku tidak tahu. Hari ini dia sedang keluar.”
Aku terkejut.
“Keluar? Kemana?”
Irvin
menggelengkan kepalanya. “Sepertinya karyawati di sana lebih tau daripada aku.”
Irvin menunjuk para karyawati yang langsung bubar ketika Hanji bertanya.
Hanji ragu
bertanya pada mereka. “Ah kalau bertanya dengan mereka lagi..”
Irvin
tertawa. Irvin, Hanji dan Levi sudah cukup lama kenal. Irvin merupakan senior
mereka ketika kuliah. Sebenarnya Levi-lah yang kenal dekat dengan Irvin,
mengingat saat ini pun mereka bekerja sama.
“Kalau
begitu aku titip saja padamu. Aku masih ada pekerjaan lagi,” kata Hanji sambil
melihat jam tangannya. Irvin setuju dan menerima bekal itu. Sebenarnya ini hal
yang tak sopan. Tapi mengingat Hanji memiliki sifat tak-peduli-apa-jabatanmu
dan merasa mereka sudah kenal dekat, jadi ia merasa tak masalah.
Hanji segera
keluar dari gedung yang sangat besar itu. Selama perjalanan menuju kantor
risetnya, ia berpikir tentang sikap aneh beberapa orang. Seperti Armin yang
sangat terkejut mengetahui ia masih berpacaran dengan Levi atau sikap karyawati
yang ia yakini sedang membicarakan Levi.
.
.
Sore hari
ini masih cukup dingin untuk bulan Februari. Hanji memutuskan untuk
menghangatkan diri di sebuah coffee shop
langganannya dan Levi.
Scout Café. Tempat inilah yang menjadi saksi
awal hubungan mereka selama 3 tahun ini. Senyum tak lepas dari wajahnya yang
manis Hanji jika mengingat saat itu. Entah dari mana ia mendapatkan keberanian
seperti itu.
Pesanan
Hanji pun datang. Ia berterima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya.
Segera ia nikmati kopi pesanannya. Hari ini ia duduk di dekat jendela.
Favoritnya. Di tempat inilah ia bisa melihat apapun yang terjadi di luar sana.
Ketika ia
asyik dengan kopi dan acara melihat-apapun-diluar-sana, ia melihat seorang pria
yang ia kenal baik keluar dari toko perhiasan bersama… seorang gadis?
Hanji yang
terkejut saat itu segera menggosok-gosokkan matanya. Memastikan ia tak salah
lihat. Ya, pria itu, Levi bersama seorang gadis berambut pirang-coklat. Ia tak
kenal dengan gadis itu. Apa dia teman sekantor Levi? Ia tak tahu. Ia hanya
kenal dengan Irvin dan Mike, salah satu tangan kanan Irvin. Lagipula, apa wajar
jika Levi, seorang pria yang sangat dingin dan datar itu keluar dari sebuah
toko perhiasan dengan seorang gadis, jika ia tak memiliki suatu hubungan spesial?
Oke, Hanji mulai
mencium ketidakberesan di sini. Ia bahkan belum pernah diajak ke toko perhiasan
yang tampak mahal seperti itu oleh Levi. Ia juga tak memiliki suatu benda apa
pun yang mengikat hubungan mereka. Diam-diam ia iri dengan gadis —yang tak ia
tahu siapa namanya—itu. Jangan-jangan Levi…
Hanji
mengirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia harus
berpikir secara positif. Mungkin saja Levi pergi untuk mempersiapkan acara
pernikahan Irvin. Ya, Irvin kan belum
menikah dan ia sibuk, pasti Levi yang ia manfaatkan untuk mengerjakan semuanya
walau aku tak tahu siapa calonnya, pikir Hanji.
.
.
.
Setelah ia
melihat Levi keluar dari toko perhiasan tempo hari, kali ini ia melihat Levi
keluar dari toko bunga. Hanji sudah berpikir kalau ia akan mendapatkan bunga
hari ini. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh Levi. Namu, pupus sudah harapan
Hanji ketika seorang gadis yang sama —seperti tempo hari— keluar bersama Levi.
“Hanji-san!” seorang pria berambut pirang itu
menghampiri Hanji yang masih diam terpaku.
“Armin?”
“Apa yang
Hanji-san lakukan di sini?”
“A-ah aku…
aku baru saja selesai berbelanja.”
Armin
melihat beberapa kantong belanjaan —yang sepertinya berat— milik Hanji. “Untuk
makan malam ya? Kelihatannya berat sekali. Mari kubantu Hanji-san.”
“Ah tak perlu
repot-repot. Aku kuat membawanya sendirian kok. Lagipula semua ini mau aku
masak di apartemen pacarku.” Hanji menjelaskan panjang lebar tentang niatnya.
Wajah Armin seketika berubah muram.
“Ano…
sebaiknya Hanji-san jangan
berhubungan lagi dengan pria itu,” ucapnya lirih. Hanji membelalakkan matanya.
“Ke-kenapa
kau berkata seperti itu Armin?”
Armin
meremas ujung kemejanya. “Aku… ketika sedang menemani Eren dan Mikasa,
sahabatku, ke desainer gaun pengantin, tak sengaja aku bertemu dengan pacar
Hanji-san dan seorang gadis. Mereka
sedang berdiskusi dengan desainer itu. Aku yakin mereka membicarakan tentang
gaun pengantin.”
Sesaat Hanji
menahan nafasnya. Rasanya ia ingin membungkam mulut Armin. Tapi ia tak
melakukan hal itu karena ia juga melihat hal yang sama. Levi dan seorang gadis.
“Lalu,
beberapa hari yang lalu, ketika aku akan berdoa di gereja bersama adikku
Christa, aku tak sengaja melihat pacar Hanji-san bersama gadis yang sama sedang berbicara dengan pastur. Aku
mendengar pembicaraan mereka secara sekilas. Mereka membicarakan jadwal
pernikahan.” Armin bercerita dengan wajah mulai muram. Sepertinya ia sedikit
enggan menceritakan hal ini. Namun, disisi lain ia merasa harus menceritakan
hal ini agar seniornya tak tersakiti.
Mata Hanji
mulai berkaca-kaca. “A-apa… gadis yang bersama Levi adalah gadis berambut
pirang kecoklatan?”
Armin
terkejut dengan pertanyaan Hanji. Ia hanya mengangguk sebagai jawabannya.
Hanji
menghela napasnya. “Terima kasih ceritanya Armin. Aku… aku pulang dulu,” dengan
suara bergetar Hanji pamit.
“Ha-Hanji-san!”
Hanji
menoleh. “Se-sebaiknya Hanji-san jangan ke apartemen pria itu lagi!”
Hanji
terkejut dengan larangan Armin. Hanji mengerti bahwa Armin tak ingin senior
yang ia hormati semakin sedih.
Hanji
tersenyum. “Aku baik-baik saja. Setidaknya, aku ingin menyelesaikan ini.”
Hanji terus
melangkah menuju apartemen Levi yang sebenarnya cukup jauh dari tempat ia
bertemu dengan Armin tadi. Selama perjalanan ia terus mengingat apa yang pernah
Levi lakukan padanya. Levi memang bukan orang yang romantis. Ia bahkan sangat
dingin. Tapi ia yakin bahwa ia merupakan orang yang setia. Hanji sadar, gadis
yang bersama Levi itu lebih manis darinya. Ia juga sadar bahwa gadis itu lebih
pantas bersanding dengan Levi, karena gadis itu lebih pendek dari Levi. Berbeda
dengannya. Ia lebih tinggi dari Levi dan hal itu sering menjad bahan tertawaan
teman-temannya.
Hatinya
makin kalut… mungkinkah Levi akan memutuskan hubungannya dan segera menikah
dengan gadis itu…?
Hanji sampai
di depan kamar 854, kamar Levi. Ia masih ragu, apakah sebaiknya ia membuka
pintu itu —dengan kunci yang ia miliki— atau ia pergi dari tempat ini. “Aku…
harus memastikan ini…”
CKLEK!
Pintu
terbuka tepat saat Hanji akan memasukkan kunci.
“AH!”
seorang gadis keluar dari kamar Levi. Kali ini Hanji benar-benar ingin pergi
dari tempat itu sekarang juga. Bahkan belanjaan yang ia bawa sampai terjatuh.
“Ada apa
Petra?” terdengar suara Levi dari dalam. Hanji masih mematung sambil menahan
air mata.
“Le-Levi-san… ada Hanji-san!” gadis yang baru saja ia tahu bernama Petra itu memanggil
Levi.
Levi keluar
dengan tergopoh-gopoh. “Ha-Hanji…”
Tanpa
berkata-kata Hanji hendak pergi dari tempat itu saat itu juga. Air mata yang
menggantung di matanya sudah tak dapat ditahan lagi. Namun dengan cepat Levi
menarik tangannya.
“Terima
kasih bantuanmu selama ini Petra.” Dengan segera Levi menarik Hanji masuk dan
menutup pintu apartemennya. Hanji terkejut dan bingung melihat sikap Levi.
“Aku mau
pulang…”
Levi
memandang Hanji tajam. “Tidak. Ada yang ingin kubicarakan.”
“Buat apa?
Kau ingin membicarakan pernikahanmu dengan gadis tadi?” air mata Hanji meleleh.
Levi
membelalakkan matanya tak percaya. “Darimana kau mendengar itu…?”
“Aku
melihatnya sendiri. Kau keluar dari toko perhiasan dan bunga. Juniorku bahkan
melihat kalian di desainer gaun pengantin dan gereja!”
Levi tak
bereaksi. “Kalau kau ingin putus dan menikah dengan gadis tadi… aku… aku…”
“Cukup!”
Hanji
terdiam. Levi membentaknya cukup keras. Hanya air matanya yang terus keluar
dengan derasnya.
Levi
mendesah panjang. “Haahh… itu tak seperti yang kau pikirkan.” Hanji masih
terdiam.
“Maaf telah
membuatmu salah paham. Selama ini aku pergi ke desainer gaun pengantin, gereja,
toko perhiasan dan toko bunga adalah untuk…” Levi merogoh kantongnya dan
mengeluarkan sesuatu. Sebuah kotak kecil berwarna merah. Ia membukanya lalu
berlutut.
“Hanji Zoe,
menikahlah denganku.”
DEG! Jantung
Hanji serasa berhenti berdetak. Ia membelalakkan matanya tak percaya. Be-benarkah ini…?
“Aku
benar-benar minta maaf telah membuatmu salah paham. Aku minta tolong pada
Petra, sekretarisku untuk menemaniku mempersiapkan semuanya karena dia lebih
tahu. Aku dan dia tak ada hubungan apa-apa,” jelas Levi.
Hanji masih
terdiam. Ia masih mencerna kata-kata Levi yang menurutnya diluar pikirannya.
Levi masih menunggu jawaban Hanji. Ia menunggu dengan posisi yang sama dan
dengan wajah yang datar.
“Aku
bersedia.” Akhirnya Hanji menjawab pertanyaan Levi sambil menangis. Sekilas
Levi tersenyum lalu memasangkan cincin bermata batu emerald yang sangat indah dan pas di jari manis Hanji. Hanji masih
menangis.
“Sudahlah
jangan menangis. Aku tak suka melihat wajah jelekmu seperti itu.” Levi memeluk
dan mengusap kepala Hanji dengan saying walau sedikit sulit —mengingat
perbedaan tinggi mereka yang mencapai 10cm.
“Bodoh… Kau
membuatku kesal saja. Kupikir kau tidak menyukaiku dan lebih memilih gadis itu.
Kau bahkan tidak pernah berkata kalau kau suka padaku!” Hanji menangis sambil
memukul dada Levi.
“Ck. Kau
membuatku kesal saja. Sudah kubilang dia hanya membantuku mempersiapkan ini
semua. Lagipula aku mencintaimu, bukan menyukaimu mata empat bodoh!”
“Huhuhu… “
suara tangisan Hanji makin menjadi. Ia bahkan memukul dada Levi makin keras.
“Tak ingin
diam juga?”
Cup.
Levi
mengecup bibir Hanji. Kecupan itu berubah menjadi ciuman yang panas.
“Karena kau
membuatku kesal karena tak percaya padaku, maka malam ini kau harus menginap.
Bersiaplah Hanji Zoe.”
-OWARI-
OMAKE:
Sinar
mentari pagi menembus jendela kamar milik Levi. Hanji Zoe, gadis yang baru saja
menjadi wanita mengerjap-kerjapkan matanya. Ia memandang seseorang yang tidur
di sampingnya. Ia tidur dengan damai. Hanji tidur berbantalkan lengan pria itu
dan pria itu masih memeluknya. Seperti tak ingin kehilangan wanita itu.
Hanji
tersenyum. Semalam merupaka malam yang sangat menyenangkan. Levi benar-benar
berubah karakternya. Dia menjadi sangat romantis. Ia terus memandangi cincin
yang melingkar di jari manisnya sambil terus tersenyum.
“Kenapa kau
senyum-senyum seperti orang aneh begitu heh?”
“Ah Levi.
Kau sudah bangun? Aku hanya mengingat yang semalam saja ihihi.”
“Oh, aku
belum bilang padamu ya?”
“He? Apa?
Apa?”
“Tentang
Petra. Kubilang kemarin dia lebih tahu hal ini kan? Sebenarnya dia tunangannya
Irvin. Oleh karena itu Irvin merekomendasikan tunangannya itu untuk menemaniku.
Dia tahu semua rencanaku ini.”
“HEEEEEE???”
-beneran OWARI-
A/N:
Alhamdulillah
selesai juga fic SnK pertamaku :D
Ini pairing
favoritku. Aku sukaaa banget dengan mereka
Maaf kalau
Hanji dan Levi nya OOC. Aku merasa mereka OOC -_- sepertinya aku harus
mendalami peran mereka.
Lagi-lagi
aku bingung dg judul ._. dan aku bukan penganut Kristen, jd yg bagaian d gereja
itupun hanya kira-kira(?)
Akhir kata: REVIEW!!!
Nb:: ada yg
punya LINE/whatsapp?
repost dari ffn yah :D
0 komentar:
Posting Komentar