Jdeeerrr…. Gemuruh guntur malam ini membuatku takut. Detakan jam dinding dan sepi membuat suasana menjadi seram. Aku melongok ke arah jam, sudah jam 23.15. Aku menarik selimut sampai menutupi wajahku.
Tok tok tok krieett. Pintu kamarku perlahan terbuka. Aku melongokkan kepalaku keluar selimut.
“Belum tidur Vi?” Tanya wanita separuh baya yang masuk ke kamarku itu.
“Belum tante,” jawabku singkat.
“Kalau gitu cepat tidur, besok kamu sekolah lho. Bajumu tante taruh sini ya,” kata Tante Marry meletakkan tumpukan baju di atas meja. Rupanya Tante Marry menyetrika baju sampai tengah malam. Lalu Tante Marry keluar dari kamarku.
Aku merasa segan kepada Tante Marry dan keluarganya. Tante Marry adalah adik dari ayahku yang sangat akrab dengan ibuku. Beliau dulu sempat tinggal di luar negeri, tapi sekarang beliau tinggal di Jakarta. Beliau tinggal berdua bersama dengan anak satu-satunya yang sebayaku, Chandra. Suami Tante Marry sudah meninggal 6 tahun lalu ketika Chandra masih berumur 11 tahun.
Sudah 3 bulan aku tinggal di rumah Tante Marry, aku sudah akrab dengan Tante Marry maupun Chandra. Tapi aku masih segan dengan mereka. Mereka sudah begitu baik mau menampungku yang yatim piatu ini.
Jdeeerrrr …. Kilat dan Guntur yang bersahut-sahutan makin membuatku takut. Aku merapatkan selimut lagi sampai seluruh badanku tertutupi selimut. Di dalam selimut tak terlihat apapun. Gelap. Hanya bunyi air hujan di luar yang terdengar. Semakin takut rasanya. Takut akan ingatan setengah tahun lalu. Takut semua itu terjadi lagi.
****
Brakk… !! Aku membanting pintu kamarku. Langsung kurebahkan tubuhku di kasur.
“Aarrgghh… Kenapa sih selalu saja Kak Raya? Memangnya cuma dia aja yang bisa masuk majalah? Aku juga bisa!” gerutuku kesal. Kali ini Kak Raya masuk 10 besar finalis gadis sampul disebuah majalah. Sebelumnya Kak Raya pernah menjadi pelajar teladan di sekolahnya, memenangkan berbagai perlombaan mulai dari olahraga sampai pelajaran. Selain itu ia sangat cantik dan sempurna. Lemari khusus penghargaan pun sudah penuh dengan penghargaan-penghargaan Kak Raya. Sebenarnya ada satu piala yang kusumbangkan dilemari ini. Tak bisa dibanggakan dibanding piala yang dimenangkan Kak Raya. Juara satu lomba mewarnai antar TK. Ibu selalu saja membangga-banggakan Kak Raya di depan teman-temannya dan juga selalu membanding-bandingkanku dengan kakakku yang super sempurna itu. Itulah yang paling tak kusuka. Bukannya aku benci dengan kakakku, tapi aku paling benci kalau dibanding-bandingkan.
Aku mengambil handphoneku lalu memencet nomor yang kutuju. “Halo, Yani? Bisa ke rumahku nanti sore?”
“Ngapain Vi? Curhat lagi?”
“Iya nih. Aku tunggu nanti sore ya,” kataku langsup menutup telepon. Aku memandangi langit-langit kamarku yang telah kuhiasi berbagai stiker berbentuk bintang. Haahh… seandainya aku seperti Kak Raya, pikirku.
****
Tok tok tok. Kubuka pintu kamarku. Yani yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Kupersilakan Yani duduk di kasurku. “Jadi, mau curhat apalagi?”
“Tadi siang ibuku heboh banget waktu dapet pemberitahuan kalau Kak Raya masuk 10 besar finalis gadis sampul. Fotonya dimuat juga dimajalah itu. Ibu langsung pamer ke aku sambil bilang ‘tuh Vi, kakakmu bisa masuk 10 besar. Kamu harusnya bisa contoh kakakmu. Jangan cuma melukis aja tanpa ada hasilnya,’” jelasku. Yani mengangguk-angguk. Aku tahu kalau Yani sebenarnya sudah bosan mendengar ceritaku yang intinya selalu sama. Tapi Yani selalu mau mendengarkan keluh kesahku.
Yani dan aku sudah bersahabat sejak dibangku SD. Kami selalu sekelas dan bermain bersama. Rumah kami pun berdekatan. Hanya beda beberapa rumah saja. Selain itu aku juga akrab dengan adik kembarnya, Mia dan Lia.
“Kamu kan melukis ada hasilnya, tuh nilai seni rupamu selalu tertinggi. Lukisanmu juga pernah dipamerkan dipameran sewaktu ada pertukaran pelajar di sekolah kita. Selain itu kamu pernah menang lomba mewarnai antar TK. Jadi jangan diambil hati,” hibur Yani.
“Aaah Yani, kalau aja lukisanku itu bisa masuk majalah atau masuk museum sih ibuku nggak bakal bandingin aku sama Kak Raya,” gerutuku. “Menang lomba mewarnai antar TK mah nggak ngaruh buat ibu. Itu dianggapnya cuma selingan aja,” lanjutku.
“Terus, kamu maunya gimana?”
“Haah… Aku pengennya ibu berhenti banding-bandingin aku sama Kak Raya.”
“Ayahmu gimana? Nggak bilang apa-apa?”
“Percuma Yan, ayahku juga nggak mau dengar setiap aku cerita. Dia lebih memilih sibuk sama pekerjaannya daripada dengar curhat anaknya. Padahal aku sering banget minta waku sebentar buat cerita. Rasanya pengen hidup sendiri aja,” kataku menerawang.
“Hush, jangan ngawur!” Yani mencubitku. Aku meringis kesakitan. “Hati-hati kalau ngomong. Jangan sembarangan gitu, bisa-bisa terjadi,” ingat Yani.
“Ah itu kan cuma omongan aja. Nggak mungkin terjadi.”
“Yah kan siapa tahu saja.”
Aku terdiam. Memang benar apa yang dikatakan Yani. Tapi tetap saja itu bukan keinginan sesunguhnya.
****
Aku menonton televisi di ruang tengah sendirian. Acara itu sedang memberitakan tentang Gunung Merapi yang sedang bergejolak. Memang akhir-akhir ini sedang “menggeliat”. Cukup sering terjadi gempa vulkanik. Sebenarnya itu hal yang wajar bagi penduduk yang tinggal di kaki gunung. Selain itu penduduk menjadi tenang karena ada sang “Pawang” Gunung Merapi. Begitu pula dengan keluargaku. Mereka sangat percaya dengan sang “Pawang”.
Berbeda dengan mereka, aku justru tidak percaya. Ah, bukan tidak percaya, melainkan kurang percaya saja. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa menangkal bencana? Tapi disisi lain, pertanyaanku itu terjawab ketika terjadi bencana meletusnya Gunung Merapi tahun 2006.
Berbeda saat bencana tahun 2006, aku merasa tahun ini bencananya 2 kali lipat dibanding waktu itu. Aku harap ini hanya kejadian alam biasa…
“Nonton apa nih?” tiba-tiba Kak Raya muncul.
“Nonton berita kak. Tentang Gunung Merapi.”
“Ya ampun, pantesan aja akhir-akhir ini sering gempa. Bergejolak lagi rupanya,” kata Kak Raya sambil duduk di sampingku.
Status Merapi yang semula normal aktif berubah menjadi waspada. Cukup membuatku was-was kalau Merapi akan meletus lagi seperti tahun 2006 silam. Peristiwa itu masih sangat kuingat. Aku tak ingin terulang lagi. Aku terus berdoa supaya gunung tempat rumahku berdiri segera pulih kembali.
****
Rasa khawatirku bukannya berkurang justru bertambah. Gunung tempat rumahku berdiri justru semakin bergejolak. Statusnya meningkat menjadi siaga. Gempa multifase dan gempa vulkanik terus terasa. Aku paling takut dengan gempa, karena sebelum Merapi meletus, juga terjadi gempa yang banyak menimbulkan banyak korban di Jogja.
Hanya selang 4 hari sejak Merapi berstatus siaga, kini Merapi naik kestatus paling tinggi, yaitu awas. Aku segera meminta kepada orangtuaku untuk segera mengungsi. Walaupun sebenarnya rumah kami cukup jauh dari puncak Merapi dan jauh dari radius 10 kilometer. Dimana radius itu merupakan wilayah rawan dan penduduk di radius itu segera diungsikan.
“Buat apa Vi? Rumah kita masih aman kok,” kata ibu menolak permintaanku.
“Tapi bu, tetap aja kita harus lebih waspada. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan,” kataku ngotot.
“Haah… kamu ini Vi, bisa aja kalau ngomong. Rumah kita itu sekitar 14 kilometer. Jadi ya aman.”
“Pak, ayo kita ngungsi. Ke tempat mbah yang di Surabaya atau ke rumah Tante Marry,” pintaku setengah merajuk.
“Bener kata ibumu Vi, rumah kita masih aman. Selain itu kita juga jangan asal buang uang. Sebentar lagi semuanya akan pulih kok,” jawab bapak acuh tak acuh. Aku mendengus kesal. Kata-kataku hanya seperti angin lalu saja. Mungkin benar kalau aku melebih-lebihkan, tapi perasaanku terus tak enak.
****
Esok sore, aku tengah asyik mengerjakan PR kesenian di kamarku sendirian. Tiba-tiba meja belajarku bergoyang pelan. Aku menghentikan kegiatan menggambarku. “Gempa?” tanyaku pada diriku sendiri. Tak ada reaksi. “Cuma perasaanku.” Kulanjutkan kegiatan menggambarku.
Tak lama kemudian kembali muncul getaran hebat. Lantai terus bergetar. Benda-benda di atas rak berjatuhan. Aku segera lari keluar rumah. Aku terkejut mendengar suara letusan yang cukup keras. Kulihat awan yang sangat pekat membumbung tinggi. “Pak! Bapak! Itu awan apa?” tanyaku pada bapak yang baru saja keluar rumah.
“Mana?”
“Itu pak,” tunjukku. Awan itu makin tebal dan pekat.
“Astagfirullah… itu ‘wedhus gembel’. Bu, ibu cepet keluar!” teriak bapak. Dengan tergopoh-gopoh ibu dan Kak Raya keluar rumah. Aku sangat syok. Apa yang kutakutkan justru menjadi nyata.
Sampai petang tiba warga kampungku masih berada diluar. Mereka semua tetap waspada. Berita terbaru memberitakan bahwa Merapi telah meletus dan telah memakan korban. Aku semakin takut.
“Bu, ayo ngungsi. Kemana aja deh, yang penting jauh dari sini,” pintaku.
“Tenang Via, tadi beritanya bilang kalau daerah kita masih aman,” kata ibu menenangkan.
“Aman gimana? Tadi daerah bahayanya kan jadi 15 kilometer dari puncak.”
“Itu kan kata orang yang nggak tau Merapi.”
“Nggak tau gimana? Yang ngasih tau kan pengawas Merapi,” protesku.
“Iya memang, tapi “pawang”nya bilang aman.”
“Tapi bu…..”
“Stop. Nggak ada tapi-tapian. Kita baru ngungsi kalau Mbah Marijan bilang ngungsi,” ibu memotong perkataanku dengan cepat. Aku kesal sekali perkataanku tak didengar ibu.
“Bener Vi yang dibilang ibu itu,” kata Kak Raya. Aku mendengus kesal. Satu lagi nih yang nggak percaya aku, batinku. Karena kesal, aku masuk ke kamar lalu tidur.
****
Aku bersiap-siap berangkat sekolah. Sebenarnya aku tak yakin kalau hari ini tetap masuk. Tapi karena tak ada pemberitahuan dari pihak sekolah, aku tetap bersiap-siap.
“Berangkat dulu bu, pak. Assalamualaikum,” pamitku sambil mencium tangan kedua orangtuaku.
Aku mampir ke rumah Yani untuk berangkat bersama. Merupakan sebuah rutinitas mampir ke rumah Yani sebelum berangkat sekolah.
“Maaf Vi, hari ini aku nggak sekolah. Keluargaku mau ngungsi ke tempat saudara,” kata Yani.
“Oh iya, nggak pa-pa Yan. Aku berangkat dulu ya.” Segera kukayuh sepeda kesayanganku. Diperjalanan, tampak puncak Merapi dari balik rimbunan pohon bambu. Aku menghentikan sepedaku. Kupandangi terus puncak Merapi. Tampak kumpulan awan abu-abu pekat muncul dari ujung puncak Merapi. Persis awan kemarin sore, ‘wedhus gembel’. Segera kuarahkan sepedaku menuju rumah. Kukayuh sepedaku sekencang-kencangnya. ‘’Lebih cepat! Lebih cepat!!” perintahku pada diriku sendiri.
Sesampainya di rumah, segera kucari bapak dan ibu. “Pak! Bu! Kak Raya! Hhh… Awan panasnya hhh… muncul lagi hhh…” kataku terengah-engah. Terdengar bunyi kentongan yang menandakan tanda bahaya. Bapak segera menyuruh kami keluar rumah. Orang-orang segera lari turun gunung. Para tentara sibuk membantu mengamankan para warga. Wanita dan anak-anak dinaikkan ke truk yang sudah disiapkan untuk evakuasi. Kak Raya menggandeng erat tanganku dan berlari menuju truk terdekat.
Aku celingukan mencari-cari bapak dan ibu. “Kak, ibu mana?” tanyaku sambil masih tetap berlari.
“Udah, nanti aja kita cari. Sekarang kita lari dulu ke tempat yang aman.” Aku menuruti Kak Raya. Hatiku masih was-was. Setelah berhasil naik, aku terus mencari-cari sosok bapak dan ibu yang sangat kuhapal diantara kerumunan orang-orang. Truk mulai melaju. “Kak, ibu… bapak….”
Kak Raya memelukku. “Tenang Vi, bapak sama ibu pasti selamat,” Kak Raya menenangkanku. Aku menangis dipelukan Kak Raya. Tiba-tiba ada seseorang yang memegang bahuku. Aku menoleh. “Yani!!” seruku. Yani tersenyum. “Ka, kamu nggak jadi ngungsi?”
“Sebelum berangkat ‘wedhus gembel’nya duluan muncul. Bapakku langsung nyuruh aku, Mia, Lia sama ibuku lari. Makanya aku, ibuku dan adikku di sini,” jelas Yani.
“Terus, bapakmu sekarang dimana?” Tanya Kak Raya.
“Tadi naik motor sama bapakmu kok Vi, ibumu naik truk yang lain.”
“Alhamdulillah……”
Truk melaju menjauhi kampungku. Tak lama kemudian sampailah di tempat pengungsian terdekat. Aku segera turun. Kudatangi truk yang baru saja memasuki area pengungsian. Kutunggu orang-orang yang turun dari truk. Kulihat sosok yang sangat kukenal. Segera kupeluk orang itu. “Ibuu…” tangisku.
“Via? Kamu di sini nak? Mana kakakmu?”
“Aku di sini bu,” Kak Raya langsung memelukku ibu dan aku. Cukup lama kami berpelukan. Tiba-tiba ada seseorang yang memeluk kami. “Bapak!!” seru kami. Kami melanjutkan pelukan kami.
Siang itu kudengar berita bahwa sang “Pawang” telah tiada karena terkena keganasan awan panas. Seluruh warga merasa kehilangan. Termasuk keluargaku. Berbeda dengan yang lain, aku justru merasa lega. Karena aku merasa aku telah menang dari pemikiranku sebelumnya, bagaimana mungkin seorang manusia bisa menangkal bencana? Dan jawabannya adalah tidak mungkin.
****
Setelah letusan pagi itu, terus-menerus terdengar bunyi letusan hingga esok harinya. Aku semakin takut. Aku terus berdoa agar bencana ini segera berakhir.
“Bapak sama ibu yakin?” kudengar pembicaraan Kak Raya dan kedua orangtuaku diteras sebuah aula yang beralih fungsi menjadi tempat pengungsian.
“Iya, sekarang kan udah nggak begitu bahaya, jadi bapak sama ibu mau nginep di rumah. Kamu di sini aja sama adikmu,” ujar bapak. Aku sangat tekejut mendengarnya.
“Bapak sama ibu mau nginep di rumah?!” tanyaku syok. “Itu bahaya banget bu, pak.”
“Via, kamu tenang aja. Sekarang keadaan udah lebih stabil. Kalau bapak sama ibu nggak di rumah, siapa yang bakal jaga rumah? Kan bahaya kalau adaorang yang memanfaatkan keadaan ini. Kemarin kan bapak juga nginep,” jelas ibu.
“Tapi bu, sekarang itu masih bahaya. Letusannya aja terus-terusan. Kalau ada ‘wedhus gembel’ lagi gimana?”
“Vi, kamu nggak usah khawatir. Bapak bawa motor kok. Jadi bisa lebih cepet,” bapak menepuk bahuku. Ibu mencium pipi ku dan Kak Raya. Aku dan kakakku mencium tangan kedua orangtuaku. “Bu, pak, aku mohon kali iniiii aja kalian penuhin permintaanku,” pintaku sambil memegang tangan ibu dengan erat. Ibu tersenyum.
“Besok ibu sama bapak pulang kok.” Lalu bapak dan ibu segera menaiki sepeda motor kesayangan bapak. Motor itu melaju meninggalkan barak pengungsian.
“Kak… kenapa perkataanku nggak pernah didenger sih? Selalu aja ditolak mentah-mentah,” protesku.
“Kakak juga nggak tau Vi,” jawab Kak Raya pelan. “Udah yuk Vi, sekarang tidur,” ajak Kak Raya. Aku masih terdiam memandangi jalan yang gelap. Masih tak rela.
****
“Vi, Vi, bangun!” seseorang menggoyang-goyangkan badanku. Mataku sangat berat untuk melihat siapa yang membangunkanku. “Vi cepet bangun!!!” teriak orang itu. Aku tersentak kaget.
“Hah??? Apa? Apa? Lho Yani?”
“Kita harus ngungsi lagi Vi, ayo cepet!!” Yani menarik tanganku. Aku masih belum mengerti situasi yang terjadi. Aku menurut pada Yani. “Tunggu, mana Kak Raya?” Yani tak menjawab. Ia semakin erat menarik tanganku menuju truk yang siap berangkat.
Ternyata malam itu terjadi letusan yang dahsyat. Hujan abu bagaikan salju di malam pekat terus bertebaran. Membuat napasku menjadi sesak. Truk terus melaju menuju barak pengungsian yang lebih aman. Aku belum melihat Kak Raya dan Yani tidak menjawab pertanyaanku.
Sesampainya di barak pengungsian, aku segera mencari truk yang baru datang. Mencar-cari Kak Raya. Yani menepuk bahuku, “Vi, tadi Kak Raya pesan, kamu harus tetep di sini sampai keadaan aman.”
“Hah? Maksudmu apa Yan?” tanyaku bingung.
“Tadi pas Merapi meletus lagi Kak Raya langsung nyusul orangtuamu. Makanya dia pesen gitu.” Aku sangat syok.
“Kenapa nggak bilang dari tadi Yan?”
“Maaf Vi, aku Cuma menjalankan amanat,” Yani tampak sedih. Aku tak dapat menahan air mataku. Segera kulari bermaksud mencari keluargaku. Yani menarik tanganku. Aku memandanginya sambil menangis. “Yan… lepasin…” air mataku terus menetes. Yani menggeleng. Tangannya semakin erat. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kakiku lemas. Aku terduduk sambil terus menangis. Ya Allah lindungilah keluargaku….
Letusan malam itu memakan korban yang cukup banyak. Bahkan awan panas sampai menyapu daerah diluar radius aman 10 kilometer. Awan panas itu menyapu daerah kampungku. Aku benar-benar pasrah. Aku hanya terdiam di pojok ruangan. Aku tak bisa menangis lagi. Air mataku telah habis.
****
Setelah 2 hari, tangisanku pecah lagi ketika mendengar ibu, bapak dan Kak Raya menjadi korban letusan Merapi. Yani berusaha menghiburku, tapi semua itu tak mempan bagiku. Saat itu juga aku menyesali kata-kataku, “… Rasanya pengin hidup sendiri aja.”
****
Keadaan Merapi kembali normal. Setelah sebulan tinggal di barak pengungsian aku tinggal bersama keluarga Yani di rumah neneknya di daerah Semarang. Aku masih sangat syok sepeninggal keluargaku. Sebenarnya aku ingin tinggal di rumah nenek di Surabaya. Tapi karena aku tak memiliki uang dan keluarga Yani sedang kesulitan ekonomi setelah peristiwa Merapi, aku harus bersabar sampai tabunganku cukup untuk pergi ke tempat nenek.
Tak sampai 3 bulan, Tante Marry, adik dari bapak datang menjemputku. Aku senang sekali. Ternyata Tante Marry sudah mencariku sejak peristiwa meletusnya Merapi, tetapi karena saat itu komunikasi sangat sulit, baru sekarang beliau menjemputku. Aku sangat berterimakasih kepada Yani dan keluarganya. Setelah berkemas, aku segera berpamitan dengan mereka. Yani memelukku erat. Ia menangis. Begitu pula denganku. “Walau jauh, kita tetap berteman ya,” kata Yani. Aku mengangguk. Perlahan mobil Tante Marry menjauh dari halaman.
****
Kulihat lagi jam dinding yang terus berdetak. Sudah hamper jam 00.00 dan aku belum juga tidur. Hujan semakin deras. Aku masih memandangi langit-langit. Kantuk mulai menyerangku. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur. Bapak, ibu, Kak Raya… selamat tidur.
Nama : Pingkan Mayestika A.
Kelas : XII IPA 1
No. Absen : 20
0 komentar:
Posting Komentar